Fiqih Siyahah dan Syari’ah Wisata

Oleh: M. Basyir Mujahid
Dewan Kiai PPMI Assalaam

MUNGKIN kurang populer istilah fiqih wisata atau dalam bahasa Arab disebut dengan fiqih siyahah. Ini karena Islam lebih dipersepsi sebagai agama yang dipandang anti kenikmatan dan keindahan dunia dan berorientasi akhirat semata.

Diperparah dengan kenyataan negatif kawasan wisata atau industri wisata yang ada, dimana sarananya kurang mendukung dengan keperluan wisata kaum muslimin bahkan cenderung bernuansa munkar, maksiat maupun kesyirikan.

Sebenarnya tidak susah mencari rujukan mengenai fiqih wisata dalam ajaran Islam, banyak literatur maupun dasar pijakan yang dapat dipergunakan untuk merumuskan bagaimana menyelenggarakan wisata yang bernuansa Islami atau syar’i.

Kata siyahah berasal dari bahasa Arab yang berarti: mengalir atau berjalan di atas bumi, meninggalkan daerah sendiri untuk bepergian ke belahan dunia lainnya. Air mengalir di permukaan tanah juga disebut siyahah.

Dalam Alquran sendiri disebutkan tiga kali yakni dalam surat Attaubah:2, Attaubah: 112, At Tahrim: 5 (sihuu/as saihun/as saihat) yang bermakna bepergian dan perluasan maknanya seperti puasa, jihad, zikir, hijrah, perjalanan tafakur dan penelitian. Menurut Imam Al Qurthubi, beragamnya makna ini bukan menunjukkan pertentangan makna, tetapi menunjukkan keragaman cakupan maknanya.

Fiqih siyahah berarti hasil kajian mendalam mengenai hukum-hukum dan segala hal yang terkait wisata atau tour berdasarkan dalil-dalil secara terperinci. Hanya saja kemudian dalam fiqih siyahah ini kecenderungan pembahasannya adalah mengenai hal-hal yang bersifat normatif semisal masalah rukhshoh/ keringan yang diberikan agama saat bepergian terkait dengan jama’ dan qashar shalat, bersuci dan tayammum, puasa dan jauh dekat jarak bepergian menurut fiqih.

Hukum bepergian ke negara nonmuslim, hukum mengunjungi tempat ibadah agama lain atau bangunan-banguna kuno dan mengerjakan salat di tempat tersebut. Hukum mengunjungi wisata perayaan atau festival, hukum non muslim mengunjungi masjid.

Fiqih siyahah yang ada masih banyak menyentuh aspek panduan pribadi bagi muslim dalam berwisata, sehingga belum banyak menyentuh aspek yang berkaitan dengan praktik penyelenggaraan wisata syari’ah. Untuk keperluan pengembangan wisata syari’ah tentu dibutuhkan pengembangan fiqih siyahah yang lebih komprehensif, sebagaimana halnya pengembangan ekonomi syari’ah yang sudah relatif lebih berkembang.

Sementara saat ini keadaan sudah berbalik saat dulu orang tidak peduli bahkan alergi dengan label halal sekarang ini paradigma ekonomi mulai melirik konsep halal, ditengarai bahwa jumlah penduduk muslim dunia mencapai seperempat dari keseluruhan penduduk dunia, yang dalam sektor pariwisata memberikan andil yang besar dalam pertumbuhan ekonomi, dan kaum muslimin ini tentu mencari produk halal dan secara prinsip apa yang halal itu bisa juga dikonsumsi oleh non muslim sekalipun. Hal ini dari sisi ekonomi sesungguhnya juga menguntungkan.

Sebagai contoh Negara Thailand yang mayoritas penduduknya bukan muslim, namun Thailand sangat serius menggarap peluang pasar yang bersertifikat halal, bahkan salah satu universitasnya didirikan “Halal Science Center” yang bertujuan sebagai pusat penelitian dan pendidikan tentang semua hal yang berkaitan dengan produk halal kepada semua pengusaha di Thailand. Sehingga Thailand bisa disebut sebagai negara pengekspor produk syari’ah ke seluruh dunia. Bahkan maskapai penerbangan Thai Airways disebut memiliki dapur halal terbesar seluruh dunia.

Mengingat hal ini maka Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf ) menginginkan potensi wisata syariah (Islamic Tourism) Indonesia yang besar dapat dijual kepada umat Islam di seluruh dunia. Tentu untuk mencapai hal tersebut perlu dilakukan pembenahan industri wisata sesuai syari’ah. Misalnya penyediaan hotel berstandar syari’ah, maupun kawasan wisata yang menyediakan sarana masjid dan tempat wudlu yang memadai, hiburan yang jauh dari pornografi, resto dan makanan yang halal.

Sementara ini Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Usaha Hotel Syariah yang dimaksudkan memberikan pedoman dan pemahaman tentang penyelenggaraan Usaha Hotel Syariah; dan pedoman dalam pelaksanaan sertifikasi Usaha Hotel Syariah.

Ke depan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dengan mengandeng Dewan Syari’ah Nasional (DSN-MUI) akan terus merumuskan sertifikasi wisata syari’ah maupun membuat pedoman-pedoman penyelenggaraan berbagai elemen- elemen terkait wisata syaria’ah.

Pengembangan kajian fiqih wisata maupun implementasi dari produk wisata syari’ah akan dapat terwujud dengan baik dan bisa memberi manfaat bagi pelaku industri wisata maupun dari para wisatawan itu sendiri manakala dapat dikembangan kesungguhan untuk duduk bersama antara praktisi wisata dengan ahli agama Islam sehingga kedua pihak mendapatkan informasi yang memadai tentang dunia wisata dan ajaran agama dalam wisata.

Kemudian para ulama membuat patokan umum rambu-rambu syari’ahnya dan para praktisi wisata mengimplementasikan dalam dunia wisata sehingga sesuai dengan syari’ah. Barangkali perlu terus dikembangakan seperti yang digagas oleh Kemenparekraf yang menggandeng Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI untuk melakukan sertifikasi halal terhadap industri wisata sebagaimana sertifikasi label halal dalam produk makanan dan minuman, seperti langkah awal dengan pembuatan permen tersebut di atas.

Dengan demikian sesusungguhnya ajaran-ajaran Islam bisa diimplementasikan dengan baik dan menguntungkan semua pihak. Sifat ajaran Islam adalah rahmatan lil alamin, bisa dibuktikan dan benar-benar dapat dirasakan semua pihak. (*)

Dimuat di Radar Solo,Jumat 17 Oktober 2014

Tinggalkan komentar

Filed under Pariwisata

Tinggalkan komentar