Oleh Rhenald Kasali
Saya sedang berada di atas Kepulauan Maluku Utara saat pesawat yang mengangkut sekitar 50 penumpang miring ke kiri menghadap matahari yang baru saja terbit. Di sebelah saya duduk anak muda asal Pomalaa, Kolaka, yang dari tadi ribut dengan pramugari yang mempersoalkan TV datar yang harus ditaruh di kabin belakang. Dia bersikukuh menggenggamnya erat-erat di pangkuan kendati dilarang. Dia ingin membekapnya seperti ibu yang memeluk tas kulit berlogo LV di pangkuannya.
Dari obrolan dengannya, dia mengatakan, TV adalah satu-satunya hiburan untuk mengatasi suntuk di tambang. Dari ketinggian dia menunjuk gundukan tanah merah pada bukit-bukit gundul di Pulau Halmahera -yang isi perutnya sudah dikorek, diangkut dengan kapal ke sebuah pelabuhan di Tiongkok.
Di Buli, saya menyaksikan alam yang kaya, namun miskin infrastruktur. Lubang jalan sedalam 60 sentimeter, jembatan rapuh, dan hanya menjadi mulus kalau diperbaiki perusahaan. Pemda seakan tertidur. Baca lebih lanjut →