Wali Duduk yang Jadi Asal Mula Nama Duduksampeyan

KECAMATAN Duduksampeyan berada di jalur pantai utara, perbatasan Kabupaten Gresik dan Lamongan. Nama wilayah itu memang punya arti lain. Secara sederhana, dalam bahasa Jawa Timuran, duduk sampeyan bisa berarti ”bukan Anda”. Tapi, cerita-cerita yang berkembang dari mulut ke mulut tidak klik dengan arti tersebut.

Ya, nama daerah itu memang tidak punya kajian akademis. Semuanya bersumber dari tuturan yang sudah turun-temurun.

Adalah Kuat, 94, tokoh sepuh di Duduksampeyan, yang menuturkan kisah tersebut. Veteran perang Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dengan pangkat terakhir sersan mayor itu bercerita tentang seorang pertapa misterius. Pada suatu saat, pertapa renta dengan jenggot panjang itu berdiri di kampung yang kini menjadi wilayah Duduksampeyan. Orang tersebut bercerita bahwa dirinya baru saja metu dari Tatu. Kini tatu yang juga bisa berarti luka itu menjadi Desa Metatu, Kecamatan Benjeng, Gresik.

Pria yang diyakini sebagai seorang ulama tersebut berjalan melintasi Jatirembe, lalu Sumengko, dan berakhir pada sebuah kampung sunyi. Rumah penduduk hanya sekitar 50 buah. ”Belum ada pasar dan rel kereta api,” cerita suami Rukiyani, 83, itu.

Melihat seorang tua yang kondisinya memprihatinkan, seorang warga meminta orang tersebut untuk beristirahat. ”Sampeyan lenggah mriki (Anda duduk di sini, Red),” kata Kuat, menceritakan kisah yang diingatnya sejak belia itu. Penduduk tersebut lantas memberikan minuman kepada orang tua itu. Setelah minum, orang tersebut meneruskan perjalanan. Nah, sebelum kembali mengembara, tempat peristirahatan sementara itu dinamainya Duduksampeyan.

Entah, apa sebenarnya maksud nama itu. Apakah kata ”duduk” tersebut mengacu pada kata lenggah? Rasanya memang agak tidak klop. Sebab, ratusan tahun lalu pemakaian bahasa Melayu belum banyak dikenal orang. Selain itu, lucu rasanya kalau duduk sampeyan benar-benar bermakna ”bukan Anda”. Entah kalau ketika wali tersebut ditawari duduk, lalu ada orang lain yang ikut-ikutan duduk, dan penduduk lain langsung nyeletuk, ”Huss, duduk Sampeyan!”

Kisah-kisah tersebut memang tidak punya landasan ilmiah. ”Cerita itu saya dengar, katanya dari kejadian ratusan tahun sebelumnya. Dalam setiap pengajian, Pak Kiai selalu membacakan surah Al Anbiah sambil bercerita tentang wali tersebut,” kata lelaki dengan 12 anak dan 16 cucu tersebut.

Cerita folklore itu memang masih lestari di Duduksampeyan. Terlebih karena di wilayah itu ada empat sesepuh. Usia mereka rata-rata di atas 90 tahun. ”Salah satunya ya, Pak Kuat,” kata Camat Duduksampeyan Hari Syawaluddin. Dengan usia hampir seabad, daya ingat Kuat masih kuat. Tak heran, lanjut mantan camat Manyar itu, Kuat selalu dipanggil pada malam renungan peringatan Hari Kemerdekaan, 17 Agustus, di kampung-kampung. Kuat diundang untuk bercerita tentang asal-usul nama Duduksampeyan.

Hari berharap suatu saat ada kajian akademis. Bukan itu saja, sosok wali atau orang sepuh yang menjadi asal-usul nama itu juga kudu dikejar. Sebab, orang tua itu terbukti punya pengaruh pada sejarah kawasan tersebut. Sebut saja Desa Metatu dan Jatirembe di Kecamatan Benjeng. Juga, Sumengko dan Duduksampeyan di Kecamatan Duduksampeyan.

Jadi, siapa yang mau meneliti? Apakah Sampeyan? Atau, duduk Sampeyan? (yad/c7/dos/jawapos11082014)

Tinggalkan komentar

Filed under jatim

Tinggalkan komentar